Menolak Miskin, Pusparini, Tukang Sapu Jalan Yang Memilih Keluar Dari PKH Karena Merasa Ada Yang Lebih Membutuhkan
Lagi Zaman |
Menolak Miskin, Pusparini, Tukang Sapu Jalan Yang Memilih Keluar Dari PKH Karena Merasa Ada Yang Lebih Membutuhkan - Banyak orang kaya bermental miskin. Namun ada juga masyarakat kurang mampu tapi bermental kaya. Pusaparini, warga Lingkungan Karang Anyar Kelurahan Pagesangan Timur salah satunya.
Tampilannya sederhana. Mengenakan jilbab besar warna abu, wajah Pusparini tertutupi masker warna hitam. Sesekali ia melempar senyum ketika berbicara membuka maskernya. Pusparini menjadi salah satu dari ribuan keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) di Kota Mataram.
Namun, belum lama ini ia memilih mundur dari program bantuan Kementerian Sosial bagi masyarakat kurang mampu ini. “Kesadaran sendiri memilih mundur,” ujarnya.
Keseharian Pusparini, ia bekerja sebagai petugas kebersihan di Dinas Lingkungan Hidup Kota Mataram. Tepatnya sebagai tukang sapu jalan raya. Begitu pun dengan suaminya, Wahyudi. Keduanya sama-sama menjadi petugas kebersihan. “Tapi kalau suami saya bekerja jadi petugas kebersihan di pasar,” tuturnya.
Upah yang diterima Pusparini saat ini sebenarnya tidak banyak. Masih di bawah UMR. Namun Pusparini merasa sudah terlalu lama menjadi penerima PKH. Terhitung sejak 2015 silam. Sehingga, ia merasa sudah saatnya ia keluar sebagai penerima PKH. “Alhamdulillah sekarang per bulan digaji Rp 1,3 juta. Karena berdua, InsyaAllah saya merasa cukup,” syukurnya.
Pusparini tidak merasa dirinya kaya. Hanya merasa cukup. Karena, jika dihitung secara matematis, menurutnya tidak pernah ada orang yang merasa puas dengan apa yang didapatkan. Pasti ada saja kekurangan.
Terlebih, selain untuk kebutuhan makan dan kebutuhan hidup sehari-hari, ia harus membiayai dua anaknya yang duduk di bangku SMP dan SD.
Meski ia dan suaminya mendapatkan penghasilan bulanan, namun itu tidak seberapa jika dibandingkan pengeluaran mereka. Tapi, Pusparini bertekad ingin naik kelas. Mungkin tidak secara ekonomi, tetapi secara mental.
Pusparini merasa sudah saatnya ia berjuang keluar dari garis kemiskinan yang hanya mengharapkan bantuan. Ia tak mau terus-terusan mendoakan dirinya sebagai keluarga yang kurang mampu.
“Jujur, sebenarnya saya senang sekali dibantu. Kadang mikir juga, sayang kalau keluar dari program ini. Cuma kalau tetap bertahan sebagai penerima PKH, berarti kita bilang diri kita nggak mampu. Ini kan kita mendoakan diri sendiri,” ucapnya.
Pusparini tak berharap jadi orang kaya. “Yang penting berkecukupan,” sambungnya.
Ia berharap, dengan keluarnya ia sebagai penerima PKH, ada keluarga lain yang jauh lebih membutuhkan bisa menerima bantuan. Pusparini percaya, dengan tekadnya dan suaminya saat ini, suatu saat mereka bisa menaikkan derajat keluarganya. Caranya adalah dengan menyekolahkan kedua anak mereka setinggi-tingginya.
“Kalau bisa sampai kuliah, biar ada yang mengangkat derajat orang tuanya,” doanya.
Pusparini mengenang pesan mertuanya yang dulunya juga sebagai petugas kebersihan atau tukang sapu. Pekerjaan Pusparini sendiri diakuinya merupakan warisan mertuanya sebagai tukang sapu.
“Saya yang disuruh lanjutkan agar bisa membiayai kebutuhan anak sekolah. Biar bisa anak saya kuliah. Biar mengangkat derajat keluarga,” tuturnya.